Di kafe itu, aku meneguk kenangan. Ini cangkir kopi ketiga
yang telah kuteguk. Kenanganku, mungkin sama seperti kopi yang hitam dan
kelam. Kini semuanya tidak lagi sama seperti dulu ketika masih
mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumku masih bisa terukir
dengan indah. Dulu, ketika ia masih bisa memelukku saat aku bersedih,
ketika ia masih bisa melindungiku dari dinginnya malam dan panasnya
siang. Namun itu hanya sebuah kenangan pahit dan kelam. Kini, semua itu
hanya dipersembahkan untuk Lani seorang.
—
“Hai, bagaimana latihannya?” sapanya padaku.
“Cukup baik, kamu basketnya gimana?”
“Sukses kok, ayo cepat kita ke kantin udah laper nih,” ucapnya sembari
menarik tanganku. Aku dan Bagas memang saling menyayangi saat itu. Ya,
Bagas orang yang dulu ku sayang dan ku cintai atau mungkin sampai saat
ini. Bagas dulu sangat menyayangiku, namun kini dia mungkin sudah
belajar mencintai Lani, tunangannya.
Semuanya barawal keteika orangtua Bagas dan Lani menjodohkan mereka berdua.
“Ren, maafin aku, aku sangat terpaksa bertunangan dengan Lani,” Bagas meminta maaf padaku.
“Udah dong Bagas, iya aku tau kamu sangat terpaksa. Aku tau itu.
Orangtuamu pasti ngelakuin ini semua demi kebaikanmu sudahlah,” aku
mulai meneteskan air mataku.
“Iya tapi bagaimana bisa aku berpindah hati. Bagaimana bisa aku mencintai Lani, sedangkan aku hanya menyayangimu Rena.”
“Belajar, belajarlah mencintai Lani dan lupakan aku, oke?”
“Ya tapi gimana caranya? Kita masih bisa saling bertemu kan?”
“Pikirkan sendiri. Nggak kita nggak bisa ketemu lagi, aku mau kuliah di
Bandung jadi aku akan pindah ke Bandung. Disana tenang jadi mungkin aku
bisa cepat melupakan kamu,” jawabku sok tegar.
Semua percakapan itu mengakhiri perjumpaan kami. Keputusanku sudah bulat untuk pindah ke Bandung bersama sahabatku Cinta.
—
“Renata!!” Cinta mengejutkanku.
“Eh Cinta, lama amat sih kuliahnya?”
“Sorry-sorry, kamu ngelamunin apa sih? Bagas lagi ya, udah deh Ren lupakan dia!”
“Iya Cin, tapi aku harus gimana, aku masih sayang sama Bagas,” ucapku lesu.
“Cowok di bandung kan banyak, keren-keren lagi,” Cinta bersemangat menjelaskan.
“Udah udah ayo balik capek nih!”
“Iya deh ayo pulang,” Cinta mulai melangkahkan kakinya ke pintu keluar.
Kami kembali ke kos-kosan kami. Tibanya di sana aku langsung
merebahkan tubuhku ke kasur yang empuk. ‘Nyaman sekali’ hanya itu yang
terucap dari bibirku. Sejenak aku melupakan masa laluku. Namun aku yakin
akan sangat cepat untuk mengingatnya kembali. Tak terasa gelapnya malam
telah tiba. Kini aku hanya ditemani oleh bintang bintang dan sinar
rembulan. Tanpa sadar aku menutup mataku dan terbang ke alam mimpi.
—
Pagi. Mentari terbit dengan cerianya membuat semangatku untuk belajar
bangkit. Setelah siap aku berangkat menuju kampusku bersama Cinta.
Sebelum itu, kami mengisi perut kami dengan sepotong roti dan segelas
susu.
“Rena! Cinta!” Tama memanggil kami dari kejauhan.
“Eh kamu, Niko mana?” tanyaku sambil mencari-cari Niko.
“Biasalah tuh anak paling molor,” jelas Tama. Tama, cowok keren yang
bisa disebut sahabatku dan Cinta sejak kami pindah ke Bandung. Juga
Niko, cowok manis dan keren yang mempunyai banyak sekali fans cewek.
Tapi herannya, kedua cowok itu belum juga punya pasangan sampai saat
ini.
Untung hari ini kuliahku berjalan dengan lancar. Sesudah kuliah, aku,
Cinta, Tama dan Niko akan pergi ke kafe tempat kami biasa menongkrong.
Kalau di kafe aku sangat suka jika ada cewek minta kenalan dengan Tama
dan Niko wajah mereka jadi seperti bingung sendiri. Apalagi kalau ada
anak kampus cewek melihat kami berempat sedang bercanda, mereka akan
sangat iri padaku dan Cinta. Itu adalah satu-satunya hiburanku saat aku
bersedih memikirkan Bagas.
“Semoga nggak ada lagi cewek-cewek genit di sini, risih banget aku
hii,” Niko meringis sedangkan aku dan Cinta tertawa terbahak-bahak. Tak
lama aku mulai merenung kembali, Bagas kembali merasuki pikiranku. Aku
tidak bisa mengelaknya karena aku masih sayang dengan Bagas.
“Cin, kenapa sih? Bagas lagi yaa?” Niko memecahkan lamunanku.
“Eheh, iya nih Nik, punya saran nggak?”
“Buat?”
“Buat bantu aku move on dari Bagas,” jawabku.
“Cari cowok lain dong, di kampus kan banyak! Anak basket? Ada, anak futsal? Ada. Tinggal pilih Ren!” Niko bersemangat.
“Yee kalau nyari anak keren sih banyak emang, tapi kan belum tentu hati
menerima Nik,” aku mendorong bahu Niko sampai dia mau terjatuh.
“Eh sakit tau!”
“Eh sorry-sorry,” aku cengengesan.
Jam menunjukkan pukul 1 siang, itu artinya Tama dan Cinta harus balik
ke kampus karena ada kuliah. Sedangkan aku dan Niko free sampai malam.
Kini tinggallah aku dan Niko. Aku sudah tidak bisa membendung air mataku
lagi, kini aku telah menumpahkannya aku sudah tidak bisa menyimpan
semua itu sendiri.
“Ren, udahlah mungkin memang Bagas bukan buat kamu. Kamu tau masih ada
banyak orang yang bisa menyayangi kamu lebih dari Bagas,” entah sejak
kapan Niko bisa bebicara sebijak itu. Atau mungkin hatinya Niko sudah
mulai tersentuh.
“Iya, tapi …,” aku sudah mulai curhat pada Niko. Panjang lebar aku
mengatakan unek-unek di hatiku. Beruntung Niko dapat menanggapinya
dengan baik dan bisa menenangkanku.
Curhat dengan Niko ternyata bisa mengurangi rasa sedihku terhadap Bagas.
Mungkin kapan-kapan aku akan curhat lagi dengan Niko dan mungkin aku
bisa melupakan Bagas secara bertahap. Entah kenapa aku terngiang-ngiang
dengan kata-kata Niko tadi. Begitu lembut dia menenangkanku. Ah, mungkin
itu hanya angan-anganku.
—
Pagi itu. Tertera di mading tentang pengadaan “Camping” di Malang.
Waw, jauh sekali pikirku. Namun, aku sangat tertarik dengan acara itu.
“Hei! Udah lihat pengumuman di mading?” tanyaku bersemangat.
“Udah kok, ikut nggak?” Niko menyahut pertanyaanku.
“Ikut yuk, seru lho kayaknya!” Cinta ikut menyahut.
“Oke, nanti kita daftar ya!” kembali aku yang berbicara.
Aku merasa sangat senang akan mengikuti camping tersebut. Aku memang
sangat butuh hiburan ini untuk membantuku melupakan Bagas. Entah kenapa
aku sangat menunggu-nunggu hari tersebut, hari dimana camping dimulai.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, aku dan Cinta sudah mengepak
barang-barang yang akan dibawa. Kami harus berkumpul di kampus pukul
06.00 tepat. Tiba di sana, Niko dan Tama telah menanti kami.
“Dari mana aja sih?” desah Niko.
“Dari kos-kosan lah, dari mana lagi. Ya sorry kalau kita telat,” aku menyahut dengan sedikit ketus.
Tak lama, kami berangkat dengan mengendarai bus. Selama perjalanan,
aku hanya diam menatap keluar jendela sedangkan yang lain bernyanyi
dengan riang.
Tiba-tiba Cinta bertukar tempat dengan Niko. Tak tahu apa penyebabnya.
Karena aku sedang suntuk, aku hanya menjawab dengan jawaban singkat.
“Kamu nggak apa-apa kan Ren?” tanya Niko.
“Nggak apa,” jawabku. Nampak mimik kekecewaan di wajah Niko. Sebenarnya
aku sangat tidak tega padanya, ia sudah memberiku perhatian namun aku
hanya merespon dengan cuek. Sungguh aku tak tega padanya.
Beberapa jam berlalu, tibalah kami ke tempat kami camping. Kami
langsung mendirikan tenda kami di tempat tersebut. Selepasnya, ada acara
bebas kami boleh membersihkan diri, mengisi perut atau yang lainnya.
Waktu-waktu seperti itu kubuat untuk membersihkan diri lalu makan
bersama Cinta, Niko, dan Tama.
Selama makan entah kenapa Niko terus diam dan diam. Tidak biasa,
biasanya dia itu yang paling cerewet. Aku merasa khawatir dengan Niko.
Padahal aku berharap bisa bersenang-senang dengan teman-teman terbaikku.
Setelah acara bebas ini, ada berbagai macam kegiatan lain yang
menurutku sangat mengasyikkan. Namun aku merasa tidak bisa memecah
tawaku jika melihat Niko yang terus-menerus bermuka masam. Sebenarnya
ada apa dengan dia pikirku.
Acara camping ini tidak seperti yang kuharapkan, aku terus memikirkan
Niko yang murung selama acara camping. Aku sangat rindu senyuman dari
Niko, lelucon dari Niko aku rindu semua tentang Niko. Murungnya Niko
membuat aku murung juga, sampai-sampai Cinta takut aku terus teringat
dengan Bagas padahal aku khawatir dengan Niko.
Aku malu untuk bercerita pada Cinta tentang kekhawatiranku pada Niko.
Apa iya aku suka Niko, apa iya aku sayang sama dia tapi rasanya tidak
mungkin. Aku tidak mau merusak hubungan pertemananku dengan Niko. Tapi
aku juga tidak bisa membohongi perasaanku yang sudah mulai suka dengan
Niko.
Akhirnya acara camping ini usai. Sampai saat ini perasaanku masih saja sama, bingung dengan Niko.
Pagi di kampus, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Tama mengapa Niko sangat murung.
“Tama! Aku mau ngomong bentar,” kutarik tangan Tama sehingga menjauh dari Cinta dan Niko yang sedang mengerjakan tugas.
“Apa sih Ren?” tanya Tama penasaran.
“Niko kenapa sih kok sering murung sekarang?”
“Ooh .. itu karena urusan hati,”
“Serius deh! Memang hatinya kenapa?” aku sedikit membentak Tama.
“Ren, kamu nggak pernah nyadar ya kalau Niko itu suka kamu,”
“Hah? Terus apa yang membuat dia murung?”
“Karena dia yakin kalau kamu tidak bisa melupakan Bagas jadi dia pesimis akan mendapat hati kamu,”
Tes, air mataku mulai menetes. Aku berlari menuju sebuah tempat duduk di
taman. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, dan aku
terkejut ternyata dia adalah Niko. Segera kuusap air mataku dan sedikit
membentak Niko, “ngapain kesini?”
“Udah nggak usah pura-pura nggak tahu, Tama sudah cerita semua kan?” ucapnya santai.
“Terus ngapain kesini? Dasar pengecut!”
“Ha? Pengecut? Waw apa yang membuat kamu menganggap aku seorang pengecut?”
“Kamu terlalu mudah menyerah, kenapa nggak bilang tentang perasaanmu ke aku?”
“Percuma aku bilang, kamu kan masih belum bisa melupakan Bagas mantanmu yang sempurna itu!” Niko mulai menuangkan kekesalannya.
“Oh gitu? Kata siapa aku belum bisa ngelupain Bagas? Aku sudah lupa
tentang Bagas dan semua itu karena kamu Nik,” aku mulai terisak.
Niko terdiam, lalu mulai membuka mulut lagi, “Apa buktinya?”.
“Aku sayang sama kamu! Nggak peduli kamu sayang apa nggak, pokoknya aku sayang sama kamu!”
“Ren, maafin aku. Aku salah tentang kamu. Aku sayang kok sama kamu. Aku
nggak mau kehilangan kamu hanya karena egoku yang terlalu tinggi,” Niko
memelukku dengan erat.
Percakapan yang panjang memang, namun semua itu berakhir bahagia. Cinta
dan Tama hanya senyam-senyum sendiri melihat kami berdua berpelukan.
Kini, hatiku tak lagi sepi. Aku tak lagi murung karena Bagas. Aku
sudah menghapus memori tentang Bagas. Otak dan hatiku menjadi segar
kembali karena kehadiran Niko. Selamat Datang Niko!